Gambar Artikel
Sumber foto: Pixabay / Ignartonosbg

Bertani Tak Lagi Asal Tanam: Ketika Pasar Jadi Kompas

Oleh: Ngarto Februana | Dipublikasikan pada 14 Juni 2025 | Kategori: Ekonomi


Bekasi, Jawa Barat. Di atas tanah seluas lebih dari 33 hektare yang dulu tak terurus karena status hukum tak jelas, kini tumbuh harapan baru. Bukan hanya tanaman pangan, tetapi juga model pertanian masa depan: berbasis data, menjawab pasar, dan digerakkan oleh institusi penegak hukum.

Program "Jaksa Mandiri Pangan" yang diluncurkan Jaksa Agung ST Burhanuddin pada 22 Mei 2025 di Kabupaten Bekasi menjadi sinyal kuat bahwa urusan pangan kini bukan hanya soal pertanian, tetapi juga soal keadilan. Dalam program ini, Kejaksaan Republik Indonesia mengambil langkah tak biasa: mengubah tanah sitaan negara menjadi lahan produktif, lengkap dengan petani penggarap, dukungan logistik, dan visi ketahanan pangan nasional.

"Hukum tidak hanya sebagai alat penindak, tapi juga harus menjadi instrumen pembangunan," ujar Burhanuddin dalam pidatonya.

Langkah Kejaksaan ini sejalan dengan arah pemerintahan Prabowo-Gibran yang menjadikan swasembada pangan sebagai agenda nasional utama, dengan anggaran sebesar Rp139,4 triliun pada tahun 2025. Melalui transformasi aset negara, Kejaksaan ikut menjawab tantangan besar sektor pertanian: bagaimana membuat produksi pangan relevan dengan kebutuhan pasar saat ini.

Pasar Menentukan Apa yang Perlu Ditanam

Di banyak daerah, petani masih menanam berdasarkan kebiasaan. Padahal pasar sudah berubah. Konsumen menginginkan produk sehat, ramah lingkungan, dan bersertifikasi. Industri makanan membutuhkan bahan baku dengan spesifikasi tertentu. Ketika produksi tak lagi nyambung dengan permintaan, pasar kekurangan dan petani merugi.

Inilah yang disebut sebagai market gap—kesenjangan antara apa yang ditawarkan dan apa yang diminta. Menurut laporan IFPRI (2020), petani yang mampu merespons celah pasar secara cepat berpotensi mendapatkan margin keuntungan 30–50 persen lebih tinggi. Di sinilah nilai strategis dari program seperti “Jaksa Mandiri Pangan”: menutup gap tersebut dengan lahan baru, tenaga kerja baru, dan pendekatan berbasis data.

Lebih dari Sekadar Menanam, Ini Soal Rantai Nilai

Realitas pahitnya: petani kerap hanya menerima sebagian kecil dari harga jual produk. Proses pengolahan, distribusi, dan penjualan menyedot porsi terbesar dari nilai ekonomi. Value chain analysis menunjukkan bahwa nilai tambah pertanian justru tercipta di luar ladang—di pengemasan, pengolahan, hingga pemasaran (World Bank, 2020).

Maka ketika Kejaksaan Agung menjalin kemitraan dengan Perum BULOG dan PT Pupuk Indonesia untuk program ini, tujuannya bukan sekadar meningkatkan produksi, tapi juga memperpendek rantai nilai dan mengangkat posisi tawar petani.

"Kami ingin program ini menjadi role model, bukan hanya secara hukum, tetapi juga dalam pengelolaan pangan nasional," kata Jaksa Agung Muda Intelijen Reda Manthovani.

Memahami Konsumen Adalah Kunci

Data dari Nielsen (2021) dan Mintel (2023) menunjukkan tren kuat: konsumen urban kini bersedia membayar lebih untuk produk lokal yang sehat, transparan asal-usulnya, dan mendukung petani kecil. Namun di lapangan, belum banyak petani yang memproduksi sesuai dengan preferensi ini.

Program "Jaksa Mandiri Pangan" bisa menjadi laboratorium sosial—bagaimana produksi bisa dikaitkan langsung dengan analisis perilaku konsumen, bukan sekadar kuantitas. Di sini, hukum bertemu pasar, dan ladang menjadi ruang belajar.

Keadilan Sosial di Tengah Transformasi Pangan

Kebijakan pemerintah untuk mengalihkan sebagian anggaran bantuan pangan ke Perum BULOG demi menyerap beras petani juga menciptakan risiko: distribusi kepada kelompok rentan bisa tersendat. Jaksa Agung menegaskan bahwa Kejaksaan tidak tinggal diam.

“Kami hadir untuk memastikan tidak ada kelompok masyarakat yang terlantar akibat transisi kebijakan,” ujarnya.

Dalam konteks ini, penguatan pengawasan pangan, penindakan terhadap mafia distribusi, dan perlindungan atas lahan produktif menjadi bagian dari misi besar: memastikan bahwa pangan bukan hanya tersedia, tetapi juga adil.

"Kami ingin program ini menjadi role model, bukan hanya secara hukum, tetapi juga dalam pengelolaan pangan nasional," kata Jaksa Agung Muda Intelijen Reda Manthovani.

Menanam Harapan di Tanah yang Direbut Kembali

Produksi pertanian berbasis peluang pasar bukan sekadar jargon. Ini adalah strategi yang menggabungkan tiga hal: membaca permintaan pasar, membangun rantai nilai yang adil, dan memahami konsumen. Dan ketika tanah hasil sitaan digunakan untuk tujuan ini, hukum tidak hanya ditegakkan—tapi juga ditanam.

Kejaksaan Agung menyatakan bahwa program ini akan diperluas ke seluruh Indonesia, menjangkau semua lahan negara yang potensial untuk digarap. Jika berhasil, “Jaksa Mandiri Pangan” bisa menjadi titik balik: bahwa tanah yang dahulu menjadi bukti kejahatan kini menjadi alat kesejahteraan.

Menutup Celah, Membuka Masa Depan

Di dunia yang makin terintegrasi, petani tidak bisa lagi bertani sendirian. Mereka butuh dukungan data, mitra distribusi, dan—ternyata—dukungan hukum. Ketika pasar menjadi kompas, dan tanah menjadi alat keadilan, masa depan pertanian Indonesia tidak lagi sekadar menunggu hujan atau harga.

Kini, ia ditentukan oleh siapa yang mampu menjawab pasar dengan akurasi, menanam dengan strategi, dan berpikir melampaui lahan.

Sumber dan Referensi:
  1. Lahan Sitaan Dimanfaatkan untuk Program Jaksa Mandiri Pangan
  2. FAO. (2019). Building sustainable agricultural systems. Rome: Food and Agriculture Organization.
  3. FAO. (2021). Consumer trends and food systems transformation. Rome.
  4. IFPRI. (2020). Market-based strategies for inclusive rural growth. International Food Policy Research Institute.
  5. Mintel. (2023). Southeast Asia food and drink consumer trends. Mintel Reports.
  6. Nielsen. (2021). The sustainability imperative: Southeast Asia report. NielsenIQ.
  7. OECD. (2023). Agricultural Outlook 2023–2032. Paris: OECD Publishing.
  8. World Bank. (2020). Agricultural innovation systems: From knowledge to impact. Washington, DC.

Artikel Pilihan