Gambar Artikel
Raja Ampat, destinasi wisata dan kawasan konservasi di Papua. Sumber foto: Pixabay/Ady Fauzan

Raja Ampat: Surga yang Terancam Tambang Nikel

Oleh: Ngarto Februana | Dipublikasikan pada 14 Juni 2025 | Kategori: Ekonomi


Pagi di Raja Ampat adalah keajaiban: sinar matahari berkilau di laut jernih, burung cendrawasih melayang di pepohonan, dan terumbu karang berwarna-warni tumbuh subur. Namun, suara mesin bor dan survei geologi mulai mengganggu ketenangan. Di pulau-pulau kecil yang dulunya hanya dikenal nelayan lokal dan peneliti, kini berkibar bendera perusahaan tambang — simbol ekspansi ekonomi yang sering membawa dampak negatif.

Raja Ampat, yang terkenal dengan upaya konservasinya, menghadapi lonjakan investasi nikel. Karena nikel dianggap sebagai "mineral masa depan" (The Conversation, 2023). Ironisnya, dalam upaya untuk transisi energi hijau, kita berisiko mengorbankan hutan tropis dan lautan yang menopang ekosistem planet kita.

Proyek-proyek ini disayangkan karena tidak melibatkan musyawarah dengan masyarakat adat, melainkan keputusan dari atas. Di Distrik Waigeo Barat, sebuah perusahaan yang mengklaim memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) beroperasi di lahan yang statusnya masih diperdebatkan secara adat. Belum ada konsultasi yang bebas dan diinformasikan sebelumnya (FPIC) sesuai prinsip hak asasi masyarakat adat (United Nations, 2007). Di banyak kasus di Indonesia Timur, suara warga hanya menjadi formalitas dalam dokumen AMDAL yang rapi, tanpa mencerminkan kenyataan di lapangan (JATAM, 2021).

Di Raja Ampat, terjadi pertarungan antara logika investasi dan logika kehidupan. Pemerintah dan investor sering membahas “nilai strategis” tambang, tetapi bagi komunitas adat dan masyarakat pesisir, tanah adalah warisan dan identitas. “Jika tanah hilang, kami juga akan hilang,” kata seorang tetua adat di Meos Mansar saat diwawancarai oleh WALHI Papua Barat pada pertengahan 2024.

Ketika pemerintah membanggakan cadangan nikel nasional untuk kendaraan listrik, apakah mereka menghitung kerugian dari satu pulau kecil yang hancur? Pulau itu bisa menjadi laboratorium biodiversitas laut atau korban logika tambang yang serakah.

Dan ketika pemerintah membanggakan cadangan nikel nasional untuk menjawab kebutuhan kendaraan listrik dunia, apakah mereka pernah menghitung nilai kehilangan dari satu pulau kecil yang hancur? Satu pulau bisa menjadi laboratorium hidup biodiversitas laut, bisa juga menjadi korban berikutnya dari logika tambang yang rakus.

Fakta Lapangan – Izin di Atas Surga

Kenyataan pahit ini muncul perlahan, seperti kabut pagi di Raja Ampat. Banyak warga tidak menyadari bahwa tanah mereka, yang dijaga sebagai bagian dari kehidupan adat, telah terdaftar dalam peta izin tambang. Di Pulau Gag dan Waigeo Barat, Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi nikel telah diterbitkan oleh perusahaan swasta nasional dan afiliasi asing sejak 2023 (Auriga Nusantara, 2024). Nama perusahaan tersebut tidak asing; mereka pernah terlibat dalam sengketa tambang di Sulawesi dan Maluku.

Peta Minerba One Map Indonesia (MODI) menunjukkan blok tambang sebagai luka pada tubuh hijau pulau-pulau kecil. Ironisnya, sebagian wilayah ini merupakan kawasan strategis konservasi sesuai RTRW Papua Barat dan peraturan daerah khusus tentang kawasan adat konservasi (PERDASI No. 10/2019). Namun, peta dan regulasi sering ditafsirkan fleksibel demi kepentingan industri.

Masyarakat lokal, seperti suku Maya di Distrik Saonek dan Salawati, tidak diberikan ruang setara dalam proses perizinan. “Kami tahu dari cerita tetangga, bukan dari pemerintah,” kata seorang pemuda adat dalam wawancara Yayasan EcoNusa (2024). Mereka menyebut proyek tambang itu sebagai “hantu dari Jakarta”—datang tanpa izin, meraba tanah, dan membuat peta sendiri.

WALHI Papua Barat melaporkan bahwa pada awal tahun 2025, lebih dari 6.000 hektare izin pertambangan aktif dan tidak aktif akan ada di daerah bernilai konservasi tinggi. Beberapa izin mengganggu zona geologi yang dilindungi dan daerah tangkapan air bakau yang vital.

Tidak hanya lingkungan, kontradiksi juga muncul dari sisi administratif. Sebagian wilayah yang diizinkan masuk dalam kawasan yang belum memiliki kejelasan hukum antara status “tanah ulayat” dan “tanah negara”. Hal ini melanggar semangat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012, yang menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, melainkan wilayah hak komunitas adat yang harus dihormati.

Namun, dalam praktiknya, tambang justru masuk melalui pintu-pintu rapuh: dokumen AMDAL yang dibikin cepat, proses konsultasi yang hanya berlangsung formal, dan penolakan masyarakat yang diabaikan. Seperti biasa, keberatan masyarakat dicatat di lampiran, lalu ditutup dengan kalimat “telah dilaksanakan konsultasi publik”.

Kita tengah menyaksikan proses “pembungkaman ekologi” yang perlahan namun sistematis: ketika alam dianggap ladang eksploitasi, dan suara lokal diperlakukan sebagai noise yang tidak penting.

Analisis Kritis: Kekuasaan yang Menambang dari Jauh

Ada yang absurd dalam pandangan negara terhadap Papua: wilayah kaya hutan, laut, dan adat justru dilihat dari sudut tambang dan peluang ekspor. Dalam kasus Raja Ampat, pertanyaan utamanya bukan lagi “apakah bisa ditambang?” — tetapi “mengapa tetap dipaksakan meski bertentangan dengan hukum, ekologi, dan suara warga?”

Analisis ini terkait dengan akumulasi melalui perampasan, yaitu akumulasi modal dari pengambilalihan hak-hak komunal dan ekologi (Harvey, 2004). Negara dan perusahaan menggambarkan tambang sebagai kemajuan, tetapi kemajuan itu hanya terjadi jika masyarakat lokal terpinggirkan dari tanah dan sumber daya mereka. Di Papua, relasi ini lebih timpang karena sejarah kolonialisme internal dan ketimpangan struktural dalam pengambilan keputusan (Kirsch, 2014).

Logika ini terlihat dalam praktik: peta tambang dibuat di pusat, dokumen perizinan difasilitasi oleh elite daerah, sementara masyarakat lokal hanya melihat ekskavator datang tanpa mengetahui rapat yang memutuskan nasib mereka. Ini adalah bentuk extractive authoritarianism—kekuasaan yang memaksa melalui proyek, bukan dialog (Wilson, 2020).

Proyek tambang ini menghadapi berbagai lapisan perlindungan hukum, termasuk UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan komitmen internasional seperti United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP, 2007), yang menekankan prinsip FPIC — free, prior, and informed consent. Namun, hal ini sering kali hanya menjadi hiasan dalam dokumen perizinan, dengan konsultasi di lapangan diartikan sebagai pemberitahuan sepihak.

Kontradiksi dalam logika pembangunan sangat menyedihkan: demi transisi energi global, ekosistem lokal dihancurkan. Laporan Global Battery Alliance (2023) menyatakan bahwa nikel hanya dapat ditambang secara berkelanjutan jika syarat sosial-ekologis dipenuhi, termasuk penghormatan terhadap hak masyarakat lokal. Namun, cadangan nikel di bawah tanah sering dianggap lebih penting daripada keberlanjutan di atasnya.

Masyarakat adat Raja Ampat mempertaruhkan lebih dari sekadar pulau atau batuan; mereka mempertaruhkan sistem hidup yang telah ada selama berabad-abad—hubungan spiritual dengan hutan, pengetahuan lokal tentang laut, dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Ketika tambang beroperasi tanpa persetujuan, yang dirampas bukan hanya ruang, tetapi juga martabat.

Kesimpulan & Rekomendasi – Antara Nikel dan Hutan, Kita Harus Memilih

Raja Ampat bukan sekadar titik di peta wisata Indonesia. Ia adalah rumah bagi ribuan spesies laut, ratusan komunitas adat, dan sejarah hidup yang tak pernah ditulis dalam buku ekonomi. Ketika tambang nikel masuk ke wilayah ini, yang terjadi bukan sekadar eksploitasi sumber daya, tapi juga perusakan struktur sosial, spiritual, dan ekologis yang sudah mapan dan lestari.

Jika tambang ini dibiarkan terus berjalan, kita tidak hanya akan kehilangan pulau-pulau kecil, tapi juga kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap negara. Sebab negara seharusnya hadir untuk melindungi — bukan untuk menjual ruang hidup rakyat kepada investor dengan dalih pembangunan.

Oleh karena itu, tulisan ini menawarkan beberapa langkah nyata:

  1. Moratorium Total Tambang di Pulau-Pulau Kecil
    Pemerintah harus segera memberlakukan moratorium eksplorasi dan operasi tambang di wilayah-wilayah seperti Raja Ampat yang dikategorikan sebagai kawasan konservasi dan pulau kecil, sesuai amanat UU No. 1 Tahun 2014.
  2. Audit Terbuka Semua Izin Tambang di Papua Barat
    Audit independen dan partisipatif diperlukan untuk meninjau legalitas, proses perizinan, serta pelanggaran hak adat dan kerusakan lingkungan dari proyek-proyek yang telah dan sedang berjalan.
  3. Penguatan Pengakuan Wilayah Adat
    Perlu percepatan pengakuan wilayah adat melalui Perda, SK Bupati, dan pendaftaran peta partisipatif dalam sistem nasional. Tanpa pengakuan formal, tanah adat akan selalu menjadi wilayah abu-abu yang mudah dirampas.
  4. Model Ekonomi Berbasis Konservasi dan Komunitas
    Pembangunan di Raja Ampat tidak harus lewat tambang. Ekowisata, perikanan berkelanjutan, dan pendidikan konservasi adalah tiga pilar ekonomi lestari yang telah berjalan dan harus diperkuat. Mereka tidak menghasilkan kerusakan, tapi justru menghidupkan ruang bersama.

Akhirnya, pertanyaan besar itu kembali muncul: apakah kita akan membiarkan logam di bawah tanah menentukan nasib anak cucu kita, atau kita akan memilih hutan dan laut yang terus memberi hidup tanpa merusak? Pilihan ini bukan milik pemerintah semata. Ini pilihan kita semua — sebagai warga negara, sebagai manusia, dan sebagai bagian dari ekosistem yang saling terhubung.

Daftar Pustaka


  1. Auriga Nusantara. (2024). Peta konflik tambang di Papua Barat. https://auriga.or.id
  2. EcoNusa Foundation. (2024). Laporan partisipatif masyarakat adat Raja Ampat. https://econusa.id
  3. Harvey, D. (2004). The 'new' imperialism: Accumulation by dispossession. Socialist Register, 40, 63–87.
  4. JATAM. (2021). Dampak tambang nikel terhadap ekologi dan masyarakat lokal. https://jatam.org
  5. Kirsch, S. (2014). Mining capitalism: The relationship between corporations and their critics. University of California Press.
  6. The Conversation. (2023). Transisi energi dan tambang nikel: Solusi atau ilusi? https://theconversation.com/id
  7. United Nations. (2007). United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. https://www.un.org/development/desa/indigenouspeoples/
  8. Wilson, N. (2020). Authoritarian environmentalism and Indonesia’s climate change policy. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 39(1), 3–23. https://doi.org/10.1177/1868103420901945

Artikel Pilihan