Gambar Artikel
Sawah hasil sitaan negara di Srimahi, Tambun Utara/Foto: Ngarto Februana

Tanah Sitaan, Ladang Masa Depan: Ketika Hukum Menanam, dan Petani Memanen Harapan

Penulis: Ngarto Februana | | Dipublikasikan pada 29 Juni 2025 | Kategori: Ekonomi


Bekasi, Jawa Barat – Di Desa Srimahi, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, suara cangkul kembali terdengar. Bukan dari proyek properti atau kawasan industri baru, melainkan dari petani yang mengolah tanah sitaan negara. Tanah yang dulunya hasil dari tindak pidana korupsi kini berubah menjadi ladang pangan nasional. Inilah wajah baru dari kebijakan agraria yang tak sekadar legalistik--tetapi strategis dan berpihak.

22 Mei 2025, tanah itu secara simbolis "dibebaskan" kembali untuk rakyat lewat program Jaksa Mandiri Pangan. Sebuah kolaborasi antara Kejaksaan Agung RI, Kementerian Pertanian, PT Pupuk Indonesia, Perum BULOG, dan kelompok petani lokal. Mereka menanam padi, secara harfiah dan politis--menanam simbol tentang bagaimana hukum bisa hidup dan menghidupi (Metrotvnews, 2025; Pupuk Indonesia, 2025).

Aset Sitaan: Dari Bukti Kejahatan ke Instrumen Ketahanan

Dalam teori tata kelola aset publik, ada satu prinsip yang kerap dilupakan: tanah negara bukan sekadar milik negara, tapi milik rakyat. Dan saat tanah itu diambil dari hasil kejahatan, maka kewajiban negara bukan hanya menyita, tapi mengembalikannya dalam bentuk yang lebih baik (Flynn, 2012).

Di Jawa Barat dan Banten saja, Kejaksaan menyimpan sekitar seribu hektare lahan sitaan. Dan yang dilakukan di Bekasi adalah langkah pertama untuk menjadikannya produktif kembali. “Jangan sampai dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak benar,” kata Jaksa Agung ST Burhanuddin. Tapi tidak cukup hanya mencegah penyalahgunaan--program ini bertujuan mengubah tanah mati menjadi ladang hidup.

Ketika Pangan dan Hukum Berjalan Bersisian

Di tengah ancaman krisis pangan global, harga beras dunia melonjak. Tapi Indonesia justru surplus. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut program seperti Jaksa Mandiri Pangan sebagai salah satu sebabnya.

Namun swasembada pangan bukan semata urusan produksi. Ia adalah urusan ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas (FAO, 2006). Dan tanah hasil sitaan, jika tidak dioptimalkan, akan menjadi beban dalam empat aspek itu. Dengan menggandeng Pupuk Indonesia untuk penyediaan agroinput, pendampingan budidaya, dan uji tanah berbasis teknologi, program ini mencoba menjawab tantangan efisiensi, bukan hanya ekstensifikasi.

Rahmad Pribadi, Dirut Pupuk Indonesia, bahkan menyatakan kesiapan memperluas program ini ke daerah lain. Padi, jagung, apapun komoditasnya--asal cocok dan terhubung dengan pasar. Ini adalah pendekatan farming as planning, bukan farming by tradition.

Kolaborasi atau Koordinasi? Tantangan di Lapangan

Ansell dan Gash (2007) menyebut collaborative governance sebagai model baru dalam mengelola masalah publik yang kompleks. Dan pangan adalah salah satunya. Dalam proyek ini, Kejaksaan sebagai aktor hukum menggandeng Kementerian teknis, BUMN, dan petani. Tetapi kolaborasi yang ideal bukan sekadar membagi peran; ia harus membagi kuasa dan tanggung jawab.

Apakah program ini akan bertahan tanpa kehadiran simbolik jaksa dan menteri? Apakah petani diberi ruang untuk bersuara dalam perencanaan produksi dan distribusi hasil panen? Pertanyaan-pertanyaan ini penting agar inisiatif tidak berhenti pada seremoni, melainkan membangun sistem.

Di atas kertas, 76 petani sudah terlibat menggarap 33 hektare lahan rampasan. Tapi sistem pertanian bukan hanya soal lahan. Ia juga tentang siapa yang mengatur harga, siapa yang membeli, dan siapa yang menentukan arah panen berikutnya. Tanpa tata kelola yang adil, lahan ini bisa produktif secara teknis, tapi stagnan secara sosial.

Dari Restoratif ke Transformatif

Di balik semua itu, program ini membawa angin baru: bahwa hasil penegakan hukum bisa menjadi alat keadilan distributif. Dalam pendekatan restorative justice, kejahatan tak cukup ditebus dengan hukuman. Ia harus dikompensasi dengan manfaat publik (Zehr, 2015). Dan tanah rampasan yang kini ditanami padi adalah bentuk paling nyata dari itu.

Namun lebih jauh lagi, program ini bisa masuk ke ranah transformatif. Yakni mengubah struktur pemanfaatan lahan negara yang selama ini eksklusif dan tidak produktif. Jika diteruskan dan diperluas, ia bisa menjadi preseden: bahwa tanah sitaan bukan hanya bisa dimanfaatkan, tapi bisa menjadi instrumen kedaulatan pangan.

Menanam Harapan di Tanah yang Direbut Kembali

Program Jaksa Mandiri Pangan bukan hanya eksperimen kebijakan. Ia adalah narasi ulang tentang apa itu keadilan. Dari lahan rampasan menjadi lahan pangan. Dari hukum yang menghukum menjadi hukum yang memberi makan. Dan jika prinsip kolaboratif serta keberlanjutan dijaga, mungkin ini akan menjadi salah satu warisan paling penting dari masa transisi pangan Indonesia: hukum yang bisa ditanam, dan keadilan yang bisa dipanen.

Sumber dan Referensi:


  1. Metrotvnews. (2025). Lahan Sitaan Dimanfaatkan untuk Program Jaksa Mandiri Pangan
  2. Pupuk Indonesia. (2025). Dukung Swasembada Pangan, Pupuk Indonesia Berkolaborasi dengan Kementan Kelola Lahan Rampasan Kejaksaan
  3. Ansell, C., & Gash, A. (2007). Collaborative governance in theory and practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543–571.
  4. FAO. (2006). Food security policy brief. Rome: Food and Agriculture Organization.
  5. Flynn, N. (2012). Public sector management (6th ed.). London: SAGE Publications.
  6. Zehr, H. (2015). The little book of restorative justice. Good Books.


Total Views:

0

This page has been viewed by 0 users.


Bagikan Artikel:

Artikel Pilihan