
Pariwisata dan Keberlanjutan: Merancang Masa Depan dari Destinasi
Oleh: Ngarto Februana | Dipublikasikan pada 14 Juni 2025 | Kategori: Ekonomi
Saya masih ingat saat Harry Basuki Tjahaja Purnama menceritakan sebuah pemandangan paradoks. Dalam wawancara untuk sebuah podcast, di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, April 2025, Harry berbicara dengan penuh semangat. Pengusaha pariwisata itu berbicara tentang sebuah destinasi yang tengah jaya tiba-tiba meredup, mati perlahan, dan akhirnya telantar. Dalam perbincangan yang mendalam dengan Guritno sebagai host podcast itu, Harry bukan hanya tengah menganalisis masalah; dia tengah bergelut mencari akar: apa yang terjadi apabila pariwisata, yang seharusnya menjadi mesin pertumbuhan, justru menjadi masalah?
Saya terkesima mendengar pernyataan itu. Sambil mengoperasikan tiga kamera untuk merekam wawancara itu, saya merenung. Memang ini bukan kisah unik. Dalam perjalanannya, Harry menemukan pola yang terjadi di tempat demi tempat, dari Anyer yang dahulu gemerlap lalu telantar, hingga Malta dan Vietnam yang belajar menemukan formula menjaga momentum. Selama ini yang saya tahu adik kandung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu adalah pelaku industri pariwisata. Mendengar penuturan Harry, saya teringat waktu mengambil mata kuliah pilihan antropologi di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Harry paham betul tata kelola dan antropologi pergerakan manusia. Ia menyebut masalah utamanya terletak pada pendekatan yang instan, yang tidak matang, dan pada visi jangka pendek para pembuat kebijakan. Dalam bahasa jurnalis Amerika Michael Pollan, pariwisata tengah menjadi "monokultur"—dibudidayakan secara massal tanpa memahami ekosistem dan keunikannya (Pollan, 2001, hlm. 225).
Seperti sebuah ladang yang diberi pestisida dan diperas habis demi memenuhi kebutuhan jangka pendek, pariwisata kerap dikelola tanpa visi keberlanjutan. “Ini bukan soal bikin hotel terus, bikin pawai terus, tapi soal menjaga siklus hidup destinasi itu sendiri.” Harry menyebut inilah masalah keberlanjutan — bukan ukuran yang gampang diucapkan, tapi sulit diterapkan.
Saya teringat pada tulisan Michael Pollan tentang monokultur pertanian, di mana sebuah varietas unggul diberdayakan secara luas demi memenuhi kebutuhan massal. Dalam prosesnya, keanekaragaman lenyap, tanah kehilangan kesuburannya, dan pada saat terjadi guncangan — sebuah hama, sebuah krisis — monokultur itu gampang runtuh (Pollan, 2001, hlm. 225–226; Fresh Air, 2016). Hal yang sama terjadi pada pariwisata apabila diterapkan pendekatan yang seragam, instan, dan tidak manusiawi. Dalam percakapan Harry, pariwisata bukan sebatas mendatangkan turis, tapi juga menjaga ekosistem manusia, budaya, dan alam yang menjadi akar dan jiwanya.
Pollan menekankan perlunya pendekatan multiform: “The great virtue of a diversified food economy … is its ability to withstand any shock” (Pollan, 2009, hlm. 134). Prinsip ini relevan untuk pariwisata—jika kita merawat keanekaragaman lokal, maka destinasi dapat lebih tangguh menghadapi tantangan.
“Itulah pentingnya perbedaan, multiform, dan visi jangka panjang,” kata Harry. Dalam pendekatan yang matang, dia menyarankan untuk melihat pariwisata sebagai sebuah ekosistem, bukan sebuah pabrik. Dalam ekosistem, setiap elemen saling bergantung, dari hotel dan restoran, pemandu, nelayan, perajin, hingga masyarakat sekitar. Dalam pendekatan inilah pariwisata menjadi sumber hidup yang terus bergenerasi, bukan sebuah “pesta sesaat” yang kemudian pudar.
Negara-negara yang belajar dari kesalahan, seperti Malta dan Vietnam, menemukan bahwa kunci menjaga pariwisata adalah perencanaan matang, koordinasi, dan visi jangka panjang. Dalam perbincangan Harry, dia mencontoh Malta yang berhasil mencari ceruk, bukan menjadi tempat mass tourism, tapi destination yang unik, sesuai dengan ukuran dan karakternya. Dengan pendekatan itu, Malta mampu mendatangkan turis yang memang mencari keunikan, bukan keramaian, dan pada gilirannya, terjadi perputaran ekonomi yang bergengsi dan berkelanjutan.
Ini sebentuk perbedaan paradigma. Dalam monokultur, ukuran kesuksesan adalah massifikasi — lebih luas, lebih besar, lebih cepat. Dalam pendekatan yang Harry maksud, ukuran sukses bergeser pada kualitas, kepuasan, dan kelanjutan. Dengan cara ini, pariwisata bukan sebuah bom waktu, tapi sebuah siklus yang terbarukan, sebuah ekosistem manusia, tempat, dan budaya yang hidup, belajar, dan terus bergenerasi.
Sumber dan Referensi:- Pollan, M. (2001). The Botany of Desire: A Plant’s Eye View of the World (hlm. 225–226). Random House.
- Pollan, M. (2006). The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals (hlm. 134). Penguin Press.
- Fresh Air Archive. (2016, Juli 28). Michael Pollan on biodiversity, monoculture and human health. Slow Food.
- Fresh Air. (2016). Interview transcript: On monoculture and agriculture.
- YapenaTV. (2025). Harry BTP Bilang, Saat Krisis, Ayo Bawa Dolar Masuk Indonesia Lewat Pariwisata