Gambar Artikel
Korban mafia tanah berunjuk rasa./Foto: Istimewa

Mediasi Sengketa Tanah Berisiko Dimanipulasi Mafia, Ini Solusinya

Penulis: Ngarto Februana | | Dipublikasikan pada 27 Juni 2025 | Kategori: Ekonomi



Sengketa tanah melibatkan masalah kepemilikan, kemanusiaan, emosional, dan identitas. Tupon Hadi Suwarno, alias Mbah Tupon (68 tahun), warga Bantul, menjadi korban praktik mafia tanah setelah sertifikat tanahnya berubah status secara janggal. Mbah Tupon, diwakili anaknya, Heri Setiawan, menempuh jalur hukum dengan pendampingan Pemkab Bantul. Hingga saat ini, tujuh orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penipuan, penggelapan, pemalsuan dokumen, dan pencucian uang.

Selain jalur hukum, sengketa tanah dapat diselesaikan melalui mediasi, alternatif non-litigasi yang mengedepankan dialog dan negosiasi dengan bantuan mediator netral. Mediasi menawarkan solusi damai tanpa proses pengadilan yang panjang, mengurangi konflik, serta menghemat waktu dan biaya. Pendekatan ini memungkinkan pihak-pihak mencapai kesepakatan yang adil dan saling menguntungkan, dengan memberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mencari solusi sesuai kepentingan bersama.

Di Indonesia, mediasi telah diatur dalam sistem hukum sebagai alternatif yang sah, dan semakin banyak diterapkan dalam berbagai jenis sengketa, termasuk yang berkaitan dengan tanah. Namun, keberhasilan mediasi sangat bergantung pada niat baik semua pihak dan kesediaan mereka untuk menyelesaikan masalah secara damai.

Dalam wawancara podcast oleh Yapena TV di gedung Mahkamah Agung, Mei 2025, hakim agung Sutarjo mengatakan bahwa Mahkamah Agung mendorong penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui jalur mediasi atau non-litigasi. "Malah kita memberikan pelatihan kepada kepala desa," kata Sutarjo. Banyak kepala desa yang memiliki kemampuan untuk dididik menjadi mediator, menurut Sutarjo. "Sehingga mereka bisa menyelesaikan perkara-perkara di wilayah lingkup terkecilnya, misalnya desanya, kecamatannya atau kabupatennya," ujarnya.

Dalam wawancara podcast Yapena TV di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, praktisi hukum Suhadi menceritakan pengalamannya mendampingi korban mafia tanah. Menurut Suhadi, penyelesaian sengketa tanah melalui pengadilan memakan waktu lama, bertele-tele, dan berbiaya mahal. "Bahasa pengadilan yang dulu sederhana, cepat, dengan biaya murah, sekarang sudah tidak ada di Indonesia," katanya.

Tulisan ini mendiskusikan peran dan tantangan mediasi sebagai solusi win-win, demi menjaga harmoni dan keadilan substantif, bukan sebatas prosedural.

Ketika Tanah sebagai Akar Hidup

Ketika tanah bukan hanya sebidang properti, tapi akar hidup dan identitas, pendekatan hukum yang kaku sering kali tak mampu mencapai keadilan yang manusiawi (Ehrlich, 1936; Pound, 1938). Hal ini tercermin dari kasus di Desa Pakel, Jawa Timur, antara warga dan PT Bumi Sari terkait hak guna usaha (HGU). Mediasi yang difasilitasi pemerintah daerah berhasil meredakan konflik dengan mencapai kesepakatan penggunaan lahan, meskipun transparansi dokumen HGU tetap menjadi tantangan (Dhiaulhaq et al., 2018). Kasus ini menunjukkan bahwa mediasi dapat menjadi solusi efektif, tetapi memerlukan dukungan hukum yang kuat untuk keberlanjutan.

Ini menjadi masalah penting, bukan hanya pada tingkat individu, tapi juga pada tataran masyarakat dan bangsa. Pengadilan memang penting, namun bukan satu-satunya jalan (Lederach, 1995). Dalam pendekatan sosiologis, mediasi dan non-litigasi dianggap lebih manusiawi, murah, dan dapat diterima masyarakat (Ehrlich, 1936).

Landasan Hukum Mediasi dalam Sengketa Tanah

Penguatan pendekatan non-litigasi, khususnya mediasi, bukan langkah tanpa landasan. Di Indonesia, mediasi telah diatur dalam sistem hukum sebagai alternatif yang sah, dan semakin banyak diterapkan dalam berbagai jenis sengketa, termasuk yang berkaitan dengan tanah. Namun, keberhasilan mediasi sangat bergantung pada niat baik semua pihak dan kesediaan mereka untuk menyelesaikan masalah secara damai.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 6 secara rinci menyebut perundingan, mediasi, dan konsiliasi sebagai instrumen sah penyelesaian masalah di luar pengadilan (UU 30/1999, Pasal 6).

Selain itu, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 mewajibkan proses mediasi sebelum sebuah perkara perdata diteruskan ke pengadilan (PERMA 1/2016). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012, yang juga memberikan kewenangan pada tokoh masyarakat, agama, dan kepala desa, untuk turut menjadi mediator demi menjaga kerukunan dan stabilitas (UU 7/2012). Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 juga turut memberikan landasan penyelesaian masalah pertanahan secara non-litigasi sebelum bergulir ke pengadilan (PP 43/2021). Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 11 Tahun 2016, mediasi telah menjadi metode utama di kantor pertanahan untuk menyelesaikan sengketa tanah, terutama terkait batas tanah dan kepemilikan, dengan tingkat keberhasilan yang signifikan di tingkat lokal (Dhiaulhaq et al., 2018).

Landasan Sosiologis Mediasi

Dari perspektif sosiologis, pendekatan non-litigasi memang lebih manusiawi, sesuai kebutuhan masyarakat. Roscoe Pound (1938) menyatakan bahwa hukum harus dapat memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Demikian juga Eugen Ehrlich (1936) yang menitikberatkan pada living law -- hukum yang hidup di tengah masyarakat -- bukan ukuran formal.

John Paul Lederach (1995) kemudian melengkapi pendekatan ini dengan conflict transformation, yaitu pendekatan yang mencari akar masalah dan kemudian menemukan solusi berdasarkan kepentingan masing-masing. Dalam masalah tanah, pendekatan ini berguna demi menjaga harmoni, hubungan, dan keadilan substantif.

Analisis Kasus dan Bukti Keberhasilan Mediasi

Beberapa kasus menjadi sebuah studi penting bagaimana pendekatan non-litigasi dapat diterapkan. Dalam proses peradilan, ukuran kepemilikan formal memang penting, tapi aspek manusiawi, emosional, dan kepentingan keluarga lebih luas sering terabaikan (Ehrlich, 1936; Pound, 1938). Kalau pendekatan mediasi diterapkan, para pihak dapat duduk bersama, kepentingan masing-masing dapat disampaikan secara terbuka, masalah dapat diurai, dan solusi win-win dapat dicapai. Dengan cara ini, korban mendapatkan keadilan bukan berdasarkan ukuran legal-formal, tapi berdasarkan kebutuhan manusiawi dan kepentingan hidupnya (Lederach, 1995).

Keberhasilan mediasi terlihat pada kasus di Simangambat Jae, Sumatra Utara, di mana mediasi berbasis Free, Prior, Informed, and Consent (FPIC) membantu menyelesaikan konflik tanah ulayat antara masyarakat adat dan perusahaan. Mediasi yang melibatkan pihak ketiga netral menghasilkan kesepakatan yang mengakui hak masyarakat atas sebagian lahan (Afrizal & Anderson, 2023). Selain itu, penelitian di Riau dan Jambi menunjukkan bahwa mediasi yang difasilitasi NGO berhasil mengurangi intensitas konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan perkebunan, dengan faktor keberhasilan seperti keterlibatan mediator netral dan pemberdayaan masyarakat lokal (Dhiaulhaq et al., 2014). Data ini memperkuat bahwa mediasi dapat menjadi solusi efektif untuk sengketa tanah.

Tantangan dan Solusi Mediasi

Meskipun mediasi menawarkan solusi yang manusiawi, terdapat sejumlah tantangan yang dapat menghambat keberhasilannya. Salah satu tantangan utama, seperti disampaikan Hakim Agung Sutarjo dalam wawancara di Yapena TV (Mei 2025), adalah keterbatasan kemampuan mediator, seperti kepala desa, yang sering menyebabkan kegagalan mediasi sehingga warga beralih ke jalur pengadilan. Selain itu, ketimpangan kekuasaan antarpihak, seperti antara masyarakat lokal dan perusahaan besar, dapat mengakibatkan hasil mediasi yang tidak adil (Dhiaulhaq et al., 2018). Kurangnya kesadaran hukum masyarakat juga menjadi hambatan, di mana ketidakpahaman tentang proses hukum dapat melemahkan posisi masyarakat.

Kompleksitas sengketa tanah, seperti ketidakjelasan batas tanah ulayat dalam kasus Simangambat Jae, Sumatra Utara, serta keterbatasan penegakan hasil mediasi, juga menjadi tantangan signifikan (Afrizal & Anderson, 2023). Terakhir, keterbatasan sumber daya, seperti anggaran untuk pelatihan mediator atau fasilitas mediasi di daerah terpencil, turut menghambat proses.

Contoh nyata kegagalan mediasi terlihat pada kasus di Desa Kijang Rejo, Kalimantan Barat, antara masyarakat lokal dan PT Ledo Lestari. Mediasi gagal karena ketimpangan kekuasaan antara masyarakat dan perusahaan, kurangnya tekanan publik terhadap perusahaan, dan lemahnya dukungan hukum bagi masyarakat untuk membuktikan klaim tanah adat mereka. Akhirnya, masyarakat kalah di pengadilan karena kesulitan memenuhi persyaratan hukum formal (Berenschot, 2023). Demikian pula, di Kalimantan Tengah, mediasi antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit gagal karena pejabat pemerintah yang bertindak sebagai mediator tidak netral, memihak perusahaan, dan hanya menawarkan kompensasi moneter yang tidak memadai (Noveria et al., 2004).

Kasus lain yang menonjol adalah sengketa tanah di Cluster Setia Mekar Residence 2, Tambun Selatan, Bekasi, pada awal 2025. Mediasi antara warga yang memiliki sertifikat hak milik (SHM) dan pihak yang mengklaim kepemilikan tanah berdasarkan putusan pengadilan tahun 1996 gagal mencapai kesepakatan. Warga, yang tidak dilibatkan dalam sengketa awal sejak 1976, menolak membayar kembali tanah yang sudah mereka miliki secara sah, sementara pihak pemenang sengketa, Mimi Jamilah, bersikukuh pada hak kepemilikannya. Kegagalan mediasi ini diperparah oleh dugaan sertifikat ganda, kurangnya transparansi dalam proses eksekusi, dan ketidakpatuhan terhadap prosedur pengukuran tanah oleh BPN sebelum eksekusi, yang menyebabkan penggusuran 15 rumah warga pada 30 Januari 2025 (Simanjuntak, 2025; Wahid, 2025).

Analisis mendalam kasus Tambun Selatan mengungkap peran mafia tanah dan dugaan korupsi oknum BPN sebagai faktor utama kegagalan mediasi. Sengketa ini berakar pada konflik kepemilikan tanah yang berlangsung sejak 1976, ketika lahan seluas 3,2 hektare di Desa Setia Mekar diklaim oleh Mimi Jamilah berdasarkan putusan pengadilan tahun 1996. Namun, warga yang membeli tanah pada 2008 dari pengembang memiliki SHM yang diterbitkan BPN, menunjukkan adanya dugaan sertifikat ganda.

Menurut Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, 60% kasus mafia tanah melibatkan oknum BPN yang memalsukan dokumen atau mempermudah alih kepemilikan tanah secara ilegal, dengan modus seperti pemalsuan akta jual beli (AJB) atau manipulasi data pendaftaran tanah (Wahid, 2024). Dalam kasus Tambun Selatan, BPN Bekasi diduga lalai dalam memverifikasi dokumen sebelum menerbitkan SHM kepada warga, serta gagal melakukan pengukuran ulang tanah sebelum eksekusi, yang melanggar Peraturan Menteri ATR/BPN No. 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Simanjuntak, 2025).

Peran mafia tanah dalam kasus ini terlihat dari dugaan keterlibatan jaringan yang melibatkan oknum BPN, notaris, dan pejabat lokal. Modus operandi mafia tanah mencakup pemalsuan dokumen, seperti AJB atau surat kuasa, untuk mengklaim tanah secara tidak sah, serta memanfaatkan kelemahan sistem pendaftaran tanah negatif (negatief stelsel) yang memungkinkan pendaftaran tanah tanpa verifikasi menyeluruh (Bachriadi & Suryana, 2016). Dalam kasus Tambun Selatan, putusan pengadilan tahun 1996 yang menjadi dasar klaim Mimi Jamilah diduga dimanipulasi oleh jaringan mafia tanah untuk menyingkirkan warga yang memiliki SHM sah, dengan dukungan oknum BPN yang tidak mematuhi prosedur hukum. Kepala BPN Bekasi, Darman Simanjuntak, menyatakan bahwa tanah tersebut telah diukur pada 2003, tetapi warga mempertanyakan mengapa pengukuran ulang tidak dilakukan sebelum eksekusi, menunjukkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas (Wahid, 2025).

Kegagalan mediasi di Tambun Selatan juga dipengaruhi oleh ketidaknetralan proses dan ketimpangan kekuasaan. Warga merasa tidak didengar dalam mediasi, dengan solusi yang ditawarkan, seperti pembayaran kembali tanah atau relokasi, dianggap merugikan. Hal ini diperparah oleh tekanan dari pihak pemenang sengketa yang didukung putusan pengadilan, yang memberikan keunggulan hukum formal meskipun warga memiliki SHM. Penelitian oleh Berenschot (2023) menunjukkan bahwa mafia tanah sering memanfaatkan pengadilan sebagai "ruang suaka" untuk melegitimasi klaim ilegal, dengan dukungan oknum pejabat yang korup. Dalam kasus ini, dugaan korupsi oknum BPN memperburuk kepercayaan warga terhadap mediasi, sehingga proses berakhir tanpa kesepakatan dan berujung pada penggusuran (Simanjuntak, 2025).

Perbandingan dengan Kasus Nirina Zubir

Untuk memahami kompleksitas sengketa tanah di Tambun Selatan, perbandingan dengan kasus mafia tanah yang dialami artis Nirina Zubir memberikan perspektif tambahan tentang peran mafia tanah, dugaan korupsi BPN, dan tantangan mediasi. Kasus Nirina Zubir, yang mencuat pada 2021, melibatkan penggelapan enam sertifikat tanah dan bangunan milik ibundanya, Cut Indria Marzuki, dengan kerugian diperkirakan Rp 17 miliar. Pelaku utama, Riri Khasmita, mantan asisten rumah tangga (ART), memalsukan akta kuasa jual dan tanda tangan untuk membalikkan nama sertifikat, dibantu oleh suaminya, Edrianto, dan tiga notaris PPAT (Farida, Ina Rosiana, dan Erwin Riduan). Modus operandi meliputi pemalsuan dokumen dan kolusi dengan notaris untuk mendaftarkan sertifikat palsu di BPN, memanfaatkan kelemahan sistem pendaftaran tanah (CNN Indonesia, 2021; Kompas.com, 2024).

Kesamaan antara kasus Tambun Selatan dan Nirina Zubir terletak pada peran mafia tanah dan dugaan kelalaian BPN. Di Tambun Selatan, mafia tanah diduga memanipulasi putusan pengadilan 1996 untuk mengklaim tanah, dengan dugaan sertifikat ganda yang diterbitkan BPN tanpa verifikasi menyeluruh (Simanjuntak, 2025). Dalam kasus Nirina Zubir, Riri Khasmita memalsukan dokumen untuk mendaftarkan sertifikat atas namanya, dengan BPN DKI Jakarta gagal mendeteksi kejanggalan hingga sertifikat dialihkan (Kompas.com, 2021). Kedua kasus menunjukkan kelemahan sistem pendaftaran tanah negatif (negatief stelsel), yang tidak mewajibkan verifikasi kepemilikan asli, serta potensi korupsi oknum BPN yang memfasilitasi alih nama ilegal (Bachriadi & Suryana, 2016). Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan bahwa 60% kasus mafia tanah melibatkan oknum BPN, seperti dalam kasus Tambun Selatan dan Nirina Zubir (Wahid, 2024; CNN Indonesia, 2021).

Perbedaan utama terletak pada skala, pelaku, dan pendekatan penyelesaian. Kasus Tambun Selatan melibatkan sengketa komunal yang memengaruhi puluhan warga, dengan konflik berbasis putusan pengadilan lama dan dugaan sertifikat ganda, serta berujung pada penggusuran (Wahid, 2025). Sebaliknya, kasus Nirina Zubir bersifat individual, melibatkan penggelapan oleh orang kepercayaan (ART) dengan kerugian finansial besar, dan fokus pada pemulihan aset melalui jalur hukum (Kompas.com, 2024). Dalam kasus Nirina Zubir, mediasi awal dilakukan secara kekeluargaan dengan Riri Khasmita, tetapi gagal karena kurangnya iktikad baik pelaku, yang hanya menawarkan cicilan Rp 2 juta per bulan untuk kerugian Rp 12-18 miliar (Tempo.co, 2024). Akhirnya, Nirina memilih jalur hukum, dengan pelaku divonis 13 tahun penjara dan sertifikat dikembalikan oleh BPN pada Februari 2024 (Kompas.com, 2024). Di Tambun Selatan, mediasi juga gagal karena ketidaknetralan proses dan tekanan hukum formal dari putusan pengadilan, tanpa ada kejelasan pemulihan hak warga (Simanjuntak, 2025).

Pelajaran dari kedua kasus menyoroti pentingnya reformasi sistem pertanahan dan penguatan mediasi. Kasus Nirina Zubir menunjukkan bahwa tekanan publik dan dukungan hukum dapat memaksa BPN membatalkan sertifikat palsu, tetapi prosesnya panjang dan melelahkan, dengan Nirina harus menghadiri sidang selama tiga tahun (CNBC Indonesia, 2024). Kasus Tambun Selatan menggarisbawahi bahwa mediasi tidak efektif jika tidak didukung transparansi, netralitas, dan penegakan hukum terhadap oknum BPN (Wahid, 2025). Kedua kasus juga menegaskan perlunya digitalisasi pendaftaran tanah, seperti aplikasi Sentuh Tanahku, untuk mencegah sertifikat ganda dan pemalsuan dokumen, serta pendidikan hukum masyarakat untuk menghindari penyalahgunaan kepercayaan (Surya, 2023).

Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa solusi dapat diterapkan. Pertama, pemerintah harus memperluas program pelatihan mediator, seperti yang dilakukan Mahkamah Agung, dengan fokus pada keterampilan komunikasi, negosiasi, dan pengetahuan hukum pertanahan (Sutarjo, 2025). Kedua, pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan hukum dan dukungan advokasi oleh NGO dapat mengurangi ketimpangan kekuasaan, seperti yang berhasil dilakukan di Riau dan Jambi (Dhiaulhaq et al., 2014).

Ketiga, memastikan netralitas mediator dengan melibatkan pihak ketiga independen, seperti akademisi atau kantor pertanahan, dapat meningkatkan kepercayaan terhadap proses mediasi. Keempat, hasil mediasi harus didokumentasikan dalam akta damai yang disahkan pengadilan, sesuai Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016, serta dipantau untuk memastikan implementasi (Dhiaulhaq et al., 2018).

Kelima, digitalisasi administrasi pertanahan, seperti aplikasi Sentuh Tanahku, dapat mencegah sertifikat ganda dan dugaan korupsi BPN, seperti dalam kasus Tambun Selatan dan Nirina Zubir (Surya, 2023). Keenam, penegakan hukum terhadap oknum BPN yang terlibat korupsi harus diperketat melalui Satgas Anti-Mafia Tanah, dengan sanksi tegas untuk menciptakan efek jera (Wahid, 2024). Terakhir, alokasi anggaran untuk mediasi, seperti melalui dana desa, dan pemanfaatan teknologi digital untuk mediasi daring dapat mengatasi keterbatasan sumber daya di daerah terpencil. Dengan solusi ini, mediasi dapat menjadi instrumen yang lebih efektif dan berkelanjutan.

Mengatasi Manipulasi Mediasi oleh Mafia Tanah

Dalam kasus sengketa tanah yang lebih besar, kekhawatiran muncul bahwa mediasi dapat dimanipulasi oleh mafia tanah, terutama dengan dugaan keterlibatan oknum pejabat Kementerian ATR/BPN. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan bahwa 60% praktik mafia tanah melibatkan oknum internal BPN, dengan 30% melibatkan pemborong tanah dan 10% pendukung seperti oknum kepala desa atau notaris, yang memungkinkan mereka memperoleh keuntungan secara tidak sah (Wahid, 2024). Selain itu, ada risiko mediator bertindak sebagai "makelar kasus", meminta fee tidak wajar untuk menjanjikan hasil tertentu, yang melanggar etika mediasi dan hukum anti-korupsi (Chanifah, 2011). Meskipun risiko ini nyata, mediasi tetap dapat menghasilkan solusi win-win jika dikelola dengan transparansi dan penguatan sistem untuk mencegah manipulasi.

Kasus Tambun Selatan menjadi contoh nyata bagaimana mafia tanah dan dugaan korupsi BPN dapat menggagalkan mediasi. Jaringan mafia tanah diduga memanfaatkan putusan pengadilan tahun 1996 untuk melegitimasi klaim Mimi Jamilah, dengan dukungan oknum BPN yang menerbitkan sertifikat ganda tanpa verifikasi menyeluruh. Modus ini konsisten dengan temuan Bachriadi dan Suryana (2016), yang menyebutkan bahwa mafia tanah sering menggunakan pemalsuan dokumen dan kolusi dengan oknum pejabat untuk merebut tanah secara ilegal. Kurangnya netralitas dalam mediasi di Tambun Selatan, di mana warga merasa dipaksa menerima solusi yang merugikan, menunjukkan bahwa proses mediasi dapat dimanipulasi jika tidak diawasi oleh pihak independen. Dugaan korupsi oknum BPN, seperti kelalaian dalam pengukuran tanah atau manipulasi data pendaftaran, memperburuk kepercayaan warga terhadap institusi pertanahan dan mediasi itu sendiri (Simanjuntak, 2025; Wahid, 2025).

Demikian pula, dalam kasus Nirina Zubir, mafia tanah yang dipimpin Riri Khasmita memanfaatkan kepercayaan keluarga untuk memalsukan dokumen, dengan kolusi notaris dan kelalaian BPN dalam memverifikasi keabsahan sertifikat. Upaya mediasi awal gagal karena itikad buruk pelaku, dan penyelesaian akhirnya bergantung pada jalur hukum yang panjang (Tempo.co, 2024). Kedua kasus ini menegaskan bahwa mafia tanah sering memanfaatkan celah hukum dan korupsi oknum BPN untuk melegitimasi klaim ilegal, yang melemahkan efektivitas mediasi (Berenschot, 2023).

Untuk mengatasi manipulasi ini, beberapa langkah strategis diperlukan. Pertama, netralitas mediator harus dijamin dengan melibatkan pihak ketiga independen, seperti akademisi atau NGO, yang tidak memiliki afiliasi dengan pihak manapun, termasuk oknum BPN. Penelitian di Riau dan Jambi menunjukkan bahwa mediator netral meningkatkan keberhasilan mediasi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan (Dhiaulhaq et al., 2014). Kegagalan mediasi di Kalimantan Tengah, di mana mediator pemerintah memihak perusahaan, menegaskan pentingnya netralitas ini (Noveria et al., 2004).

Kedua, transparansi proses mediasi harus ditingkatkan melalui dokumentasi terbuka dan partisipasi masyarakat, seperti dalam kasus Simangambat Jae, Sumatra Utara, di mana pendekatan FPIC memastikan akuntabilitas (Afrizal & Anderson, 2023). Ketiga, untuk mencegah praktik "makelar kasus", biaya mediasi harus diatur secara transparan dalam perjanjian tertulis sesuai Pasal 8 ayat (2) PERMA 1/2016, dan mediator harus diawasi oleh otoritas independen, seperti Satgas Anti-Mafia Tanah (Yudhoyono, 2024). Keempat, digitalisasi administrasi pertanahan, seperti aplikasi Sentuh Tanahku, dapat mencegah pemalsuan sertifikat dan korupsi oknum BPN, sebagaimana diusulkan untuk memperbaiki sistem internal ATR/BPN (Surya, 2023; Wahid, 2024). Kelima, pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan hukum dan dukungan advokasi memungkinkan mereka mengimbangi ketimpangan kekuasaan dan menghindari eksploitasi oleh mediator yang tidak etis, seperti dalam kasus Nirina Zubir, di mana tekanan publik membantu memblokir sertifikat palsu (Irawan, 2024).

Keenam, hasil mediasi harus mengikat secara hukum melalui akta damai yang disahkan pengadilan, sesuai Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016, dan dipantau oleh Satgas Anti-Mafia Tanah untuk mencegah pelanggaran (Dhiaulhaq et al., 2018; Yudhoyono, 2024). Terakhir, penegakan hukum terhadap oknum korup, termasuk oknum BPN dan mediator yang bertindak sebagai "makelar kasus", seperti yang dijanjikan Nusron Wahid dengan menyerahkan pelaku ke aparat penegak hukum, menciptakan efek jera dan menjaga integritas mediasi (Wahid, 2024).

Dengan langkah-langkah ini, mediasi dapat tetap efektif dalam kasus seperti Tambun Selatan, dan Nirina Zubir, di mana mafia tanah dan dugaan korupsi BPN terlibat. Mediator independen, masyarakat yang berdaya, biaya mediasi yang transparan, digitalisasi administrasi pertanahan, dan pengawasan ketat memastikan bahwa solusi yang dicapai tidak hanya menyelesaikan sengketa tetapi juga memenuhi kebutuhan semua pihak secara adil, sesuai dengan prinsip keadilan substantif (Ehrlich, 1936; Lederach, 1995).

Penutup

Sengketa tanah bukan sekadar masalah kepemilikan, tetapi masalah manusia, keluarga, dan masyarakat. Dalam pendekatan non-litigasi, seperti mediasi, keadilan dapat tercapai secara manusiawi, murah, dan diterima masyarakat (Ehrlich, 1936; Pound, 1938; Lederach, 1995). Kasus Pakel, Simangambat Jae, Tambun Selatan, dan Nirina Zubir menjadi bukti bahwa mediasi, jika didukung oleh landasan hukum, penguatan terhadap tantangan seperti keterbatasan mediator, ketidaknetralan, kurangnya transparansi, sertifikat ganda, dan dugaan korupsi BPN seperti dalam kasus Kijang Rejo, Kalimantan Tengah, Tambun Selatan, dan Nirina Zubir, serta upaya mengatasi manipulasi mafia tanah dan praktik "makelar kasus", dapat menghasilkan solusi yang adil dan berkelanjutan. Mediasi, apabila diberdayakan sesuai landasan hukum dan sosiologis, dapat menjadi instrumen penting demi terciptanya keadilan yang substantifial, menjaga hubungan, dan memenuhi kepentingan hidup masyarakat.

Sumber dan Referensi:


  1. Afrizal, A., & Anderson, P. (2023). Community-based mediation in land conflicts: A case study in Simangambat Jae, North Sumatra. Journal of Agrarian Studies, 12(3), 45–60.
  2. Bachriadi, D., & Suryana, E. (2016). Land grabbing and speculation for energy business: A case study of ExxonMobil in East Java, Indonesia. Canadian Journal of Development Studies, 37(4), 578–594. https://doi.org/10.1080/02255189.2016.1197682
  3. Berenschot, 2023. Local brokerage and international leverage: NGOs and land conflicts in Indonesia. Journal of International Development, 35(4), 678–694. https://doi.org/10.1002/jid.3745
  4. Chanifah, N. (2011). Makelar kasus (markus) dalam perspektif hukum Islam (sebuah upaya pencegahan makelar kasus). Interaktif, 4(2), 1–15.
  5. CNN Indonesia. (2021, November 18). Kronologi lengkap kasus mafia tanah Nirina Zubir.
  6. Dhiaulhaq, A., De Bruyn, T., & Gritten, D. 2014. The use and effectiveness of mediation in forest and land conflict transformation in Southeast Asia: Case studies from Cambodia, Indonesia, and Thailand. Forest Policy and Economics, 45, 87–97. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2014.04.009
  7. Ehrlich, E. (1936). Fundamental principles of sociology of law. Harvard University Press.
  8. Irawan, A. (2024, October 23). Kementerian ATR harus serius berantas mafia tanah dorong penguatan penegakan hukum. EMedia DPR RI. https://emedia.dpr.go.id
  9. Kompas.com. (2024, April 18). Eks ART menggugat, ini perjalanan kasus mafia tanah yang dialami keluarga Nirina Zubir. https://www.kompas.com
  10. Law Office Amanah. (n.d.). Makelar kasus. Retrieved from http://www.lawoffice-amanah.com
  11. Lederach, J. (1995). Preparing for peace: Conflict transformation across cultures. Syracuse University Press.
  12. Pound, R. (1938). Social control through law. Yale University Press.
  13. Simanjuntak, D. (2025, February 5). Sengkarut sengketa tanah di Tambun Selatan: Rumah warga bersertifikat digusur. Property and The City.
  14. Surya, W. (2023). Digitalisasi pendaftaran tanah di Indonesia: Mengatasi mafia tanah. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 10(2), 123–135.
  15. Sutarjo, . (2025, Mei). Wawancara dengan Yapena TV podcast di Gedung Mahkamah Agung.
  16. Tempo.co. (2024, April 25). Blak-blakan Nirina Zubir bongkar geng mafia tanah yang libatkan bekas ART.
  17. Wahid, N. (2024, November 14). Rapat Koordinasi Pencegahan dan Penyelesaian Tindak Pidana Pertanahan Tahun 2024. Kementerian ATR/BPN, Jakarta. https://www.menpan.go.id
  18. Wahid, N. (2025, February 7). Nusron beberkan kronologi penjualan tanah di Tambun yang bikin cluster digusur. Detik.com. https://www.detik.com
  19. Yudhoyono, A. H. (2024, July 15). Menteri AHY ungkap kasus mafia tanah terbesar senilai Rp3,41 triliun. ANTARA News. https://www.antaranews.com
  20. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
  21. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
  22. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
  23. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Sengketa Tanah.
  24. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.


Total Views:

0

This page has been viewed by 0 users.


Bagikan Artikel:

Artikel Pilihan