Gambar Artikel
Desain Bandara Internasional Bali Utara/Istimewa

Membangun Bandara di Atas Punggung Kura-Kura

Penulis: Ngarto Februana | | Dipublikasikan pada 24 Juni 2025 | Kategori: Ekonomi


Di sebuah sore bulan Mei yang lembap di studio kecil di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, saya menyaksikan sesuatu yang jarang saya temui dalam pembicaraan soal pembangunan infrastruktur yang penuh makna. Rekan saya, Guritno, baru saja melempar pertanyaan sederhana namun penuh rasa ingin tahu kepada Erwanto Sad Adiatmoko Hariwibowo, Direktur Utama PT BIBU Panji Sakti, pengembang Bandara Internasional Bali Utara (BIBU). "Mengapa desain terminal bandara berbentuk kura-kura?"

Erwanto mengangguk pelan dan tersenyum, lalu menjawab dengan tenang, "Di Bali, kura-kura adalah hewan yang disucikan." Saya terdiam. Ia melanjutkan, menjelaskan bagaimana dalam tradisi Hindu-Bali, bangunan pura sering berdiri di atas fondasi berbentuk kura-kura—simbol penjaga bumi. "Kami membangun dengan dasar Tri Hita Karana," katanya, menyebut tiga prinsip inti kehidupan Bali: hubungan dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam.

Mendengar kata Tri Hita Karana, saya mencari tahu contoh penerapan filosofi tersebut pada kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Saya temukan subak, sistem irigasi tradisional Bali yang mencerminkan filosofi tersebut, dengan mengharmoniskan hubungan antara manusia, alam, dan spiritualitas. Lalu desa adat Penglipuran, yang menerapkan Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari, dengan menjaga keseimbangan antara pembangunan, budaya, dan lingkungan.

Tapi BIBU infrastruktur bandara modern; bukan sistem irigasi; bukan desa adat. Justru di situlah letak kearifannya: membangun masa depan dengan tidak melupakan nilai-nilai bijak masa lalu.

Itulah momen di mana saya sadar: bandara ini bukan sekadar proyek beton dan baja, seperti kata Anand Krishna (2016). Ia adalah pernyataan budaya.

BIBU Mendaratkan Gagasan, bukan Sekadar Pesawat

Erwanto
Erwanto Sad Adiatmoko Hariwibowo

Bandara Internasional Bali Utara bukan cuma tentang mendaratkan pesawat. Ia adalah tentang mendaratkan gagasan--bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan akar. Bahwa sebuah terminal bisa menjadi tempat transit sekaligus tempat penghormatan. Di tengah dorongan ekonomi yang tak pernah berhenti, BIBU berdiri sebagai eksperimen besar: bisakah kita membangun masa depan tanpa meninggalkan masa lalu?

Di balik proyek ini ada filosofi yang sangat lokal namun memiliki resonansi universal: Tri Hita Karana. Saya melihatnya bukan sebagai jargon spiritual, tetapi sebagai kerangka etis yang menuntun arah pembangunan. Dalam dunia yang makin global, akar-akar seperti ini bisa memberi pijakan yang tak tergantikan.

Dalam bukunya Tri Hita Karana: Ancient Balinese Wisdom for Neo Humans, Anand Krishna menekankan pentingnya filosofi ini dalam memandu hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Menurutnya, prinsip Tri Hita Karana bukan hanya sebuah ajaran spiritual, tetapi juga filosofi hidup yang mengajarkan keseimbangan dan keselarasan dalam setiap aspek kehidupan. Dalam konteks pembangunan infrastruktur seperti Bandara Internasional Bali Utara (BIBU), Anand Krishna berpendapat bahwa penerapan Tri Hita Karana memungkinkan integrasi nilai-nilai lokal yang luhur ke dalam proyek modern. Ia mengatakan:

"Tri Hita Karana mengajarkan kita untuk tidak hanya membangun dengan beton dan baja, tetapi untuk membangun dengan kesadaran akan spiritualitas, dengan menghormati alam, dan dengan memperhatikan kesejahteraan sesama. Ini adalah prinsip yang memungkinkan kita untuk merancang masa depan tanpa harus meninggalkan masa lalu." (Anand Krishna, Tri Hita Karana: Ancient Balinese Wisdom for Neo Humans)

Pendapat ini sangat relevan dengan apa yang saya temui di BIBU, di mana filosofi Tri Hita Karana diterapkan dalam desain dan pembangunan bandara. Desain terminal yang terinspirasi dari kura-kura adalah contoh bagaimana simbol spiritual dapat dijadikan landasan arsitektur modern. Seperti yang dikatakan oleh Erwanto, "Di Bali, kura-kura adalah hewan yang disucikan." Ini mencerminkan penerapan prinsip Parhyangan, hubungan manusia dengan Tuhan, yang menjadi inti dalam pembangunan BIBU.

Lebih lanjut, Anand Krishna juga menyoroti bagaimana Tri Hita Karana mengajarkan pentingnya hubungan antara manusia dengan sesama (Pawongan), serta dengan alam (Palemahan). Dalam hal ini, BIBU menunjukkan komitmennya untuk melibatkan masyarakat lokal dalam setiap tahap pembangunan dan menjaga kelestarian alam melalui desain ramah lingkungan. Seperti yang diungkapkan Erwanto, pembangunan BIBU adalah tentang "membangun dengan dasar Tri Hita Karana," yang bukan hanya menciptakan infrastruktur, tetapi juga memperkaya identitas budaya Bali dan mendekatkan kita dengan akar budaya kita.

Parhyangan—hubungan manusia dengan Tuhan—tercermin dalam bentuk bandara itu sendiri. Kura-kura bukan dipilih karena estetik belaka, melainkan karena ia memikul bumi dalam mitologi. Simbolisme ini mengingatkan kita bahwa bahkan struktur modern sekalipun bisa menyimpan penghormatan terhadap hal-hal yang lebih besar dari diri kita.

Pawongan, atau hubungan antar manusia, terasa dalam upaya melibatkan masyarakat Bali. BIBU bukan dibangun di atas tanah kosong, melainkan di atas harapan dan kekhawatiran warga. Menurut Erwanto, keterlibatan komunitas lokal menjadi prioritas: mulai dari perencanaan hingga manfaat ekonomi langsung. Seolah bandara ini bukan dibangun "untuk Bali" tapi "oleh Bali".

Lalu Palemahan—hubungan manusia dengan alam. Di sinilah banyak proyek infrastruktur sering gagal. Tapi BIBU mencoba berbeda: desain hemat energi, pengelolaan limbah yang lebih cermat, dan upaya mempertahankan ekosistem lokal menjadi bagian dari cetak biru pembangunan. Apakah semua ini sempurna? Belum tentu. Tapi niat dan usaha yang serius untuk hidup berdampingan dengan alam sudah merupakan langkah besar.

Dalam dunia pembangunan, seringkali yang kita hitung hanyalah ROI—return on investment. Tapi bagaimana kalau kita juga menghitung ROS—return on spirit?

Melihat BIBU, saya jadi ingat bahwa infrastruktur tak harus dingin dan seragam. Ia bisa hangat, sarat makna, dan berakar dalam tanah di mana ia dibangun. Kalau bandara ini berhasil, ia akan menjadi lebih dari sekadar tempat kedatangan. Ia akan menjadi titik temu antara modernitas dan kearifan lokal.

Dan siapa sangka, semuanya dimulai dari sebuah pertanyaan kecil tentang kura-kura.

Daftar Pustaka

Krishna, A. (2016). Tri Hita Karana: Ancient Balinese wisdom for neo humans. Anand Krishna Foundation.


Artikel Pilihan